05 Mei 2008

SEJARAH SINGKAT WONOSOBO



Berdasarkan ceritera rakyat pada sekitar awal abad ke-18, tersebutlah tiga orang pengelana yang masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik, mulai merintis suatu pemukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar Kota Wonosobo sekarang ini.

Sejak saat itu daerah ini mulai berkembang dan tiga orang tokoh tersebut dianggap sebagai cikal-bakal dari masyarakat Wonosobo yang dikenal sekarang. Makin lama daerah ini semakin berkembang sehingga semakin ramai. Di kemudian hari dikenal beberapa nama tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduto sebagai penguasa Wonosobo dengan pusat kekuasaan di Kalilusi Pecekelan yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok (Wonosobo) atau Plobangan sekarang ini. Seorang cucu Kyai Karim yang dikenal dengan nama Ki Singowedono juga disebut sebagai salah seorang penguasa di Wonosobo. Beliau mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Kraton Mataram, serta diangkat menjadi penguasa daerah tersebut. Namanya kemudian berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa itu pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia, Tumenggung Jogonegoro dimakarnkan di Desa Pakuncen.

Pada awat abad ke-17 agama Islam sudah mulai berkembang luas di daerah Wonosobo. Seorang tokoh penyebar agama Islam yang sangat dikenal pada masa itu adalah Kyai Asmarasufi, yang dikenal pula sebagai menantu Ki Wiroduto salah seorana penguasa di Wonosoho Kyai Asmarasufi yang mendirikan Masjid Dukuh Bendosari dipercaya sebagai cikal-bakal atau tokoh yang kemudian menurunkan pada ulama Islam dan pemilik pondok pesantren yang ada di Wonosobo pada masa berikutnya seperti Kyai Ali Bendosari, Kyai Syukur Sholeh, Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdulfatah Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai As'ari, Kyai Abdul Fakih, Kyai Muntaha dan Kyai Hasbullah.

Demikianlah, dari hari ke hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, waktu berjalan terus, keadaan Wonosobo makin lama makin berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban manusia. Dan selanjutnya pada masa antara tahun 1825 - 1830 atau tepatnya pada masa Perang Diponegoro, Wonosobo merupakan satah satu medan pertempuran yang penting dan bersejarah. Daerah ini adalah salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan tersebut. Beberapa medan pertempuran yang menandai perjuang pasukan pendukung Pangeran Diponegoro tersebar di Gowong, Ledok, Sapuran, Plunjaran, Kertek dan sebagainya.

Di samping itu dikenal pula beberapa tokoh penting di Wonosobo yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Imam Misbach atau di kemudian hari dikenal dengan nama Tumenggung Kartosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Ki Muhammad Ngarpah. Nama yang terakhir ini adalah tokoh penting yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di Wonosobo. Walaupun perjuangan Muhammad Ngarpah tidak terbatas di daerah Wonosobo saja melainkan juga di daerah Purworejo, Magelang, Klaten dan sebagainya, akan tetapi keberadaan beliau sangat penting dalam sejarah Wonosobo. Muhammad Ngarpah bersama-sama Mulyosentiko memimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro menghadang pasukan Belanda di Legorok dekat Pisangan Yogyakarta. Dalam pertempuran di Legorok tersebut Ki Muhammad Ngarpah bersama-sama Ki Mulyosentiko beserta pasukannya berhasil menewaskan ratusan tentara Belanda, termasuk empat orang tentara Eropa. Mereka juga berhasil mengambil emas lantakan senilai 28,00 gulden pada saat itu. Pada pencegatan di Legorok, Belanda mengatami kekalahan sehingga hanya beberapa orang saja yang dapat melarikan diri.

Menurut catatan sejarah, kemenangan Ki Muhammad Ngarpah serta para pendukungnya itu adalah kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro. Maka berdasarkan keberhasilan tersebut Pangeran Diponegoro memberi nama Setjonegoro kepada Muhammad Ngarpah dan nama Kertonegoro kepada Mulyosentiko. Selanjutnya Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro. Pada masa-masa berikutnya Setjonegoro terus aktif mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, bersama-sama dengan tokoh pendukung lainnya seperti Ki Muhammad Bahrawi atau Muhammad Ngusman Libasah, Muhammad Salim, Ngabdul Latif dan Kyai Ngabdul Radap.

Dalam pertempuran di Ledok dan sekitamya,Tumenggung Setjonegoro mengerahkan 100 orang prajurit yang dipimpin oleh Mas Tumenggung Joponawang untuk menghadapi serbuan Belanda. Tumenggung Setjonegoro juga pemah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk mengepung benteng Belanda di Bagelen. Dalam pertempuran di daerah Kedu, pemimpin pasukan Belanda bemama Letnan De Bruijn terbunuh. Selain itu Setjonegoro dan Kertonegoro juga terlibat dalam pertempuran di daerah Delanggu. Mereka memimpin pasukan ke daerah Lanjur untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Klaten.

Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan Kota Wonosobo sekarang ini.
Dari hasil Seminar Hari Jadi Wonosobo pada tanggal 2 April 1996 (yang dihadiri oleh Tim Peneliti Hari jadi Wonosobo dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, sesepuh dan pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, pimpinan DPRD dan pimpinan komisi serta instansi di Wonosobo), disepakati bahwa momentum Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825, dan hal ini telah ditetapkan menjadi Perda dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Wonosobo tanggal 11 Juli 1994. Dipilihnya tanggal tersebut erat kaitannya dengan peristiwa kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Ki Muhammad Ngarpah atau Tumenggung Setjonegoro di Legorok. Walaupun serangan yang berhasil itu tidak terjadi di wilayah Wonosobo, akan tetapi peristiwa itulah yang mengangkat karir Muhammad Ngarpah sehingga diangkat menjadi penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro. Adapun penguasa atau kepala pemerintahan Kabupaten Wonosobo dari tahun 1825 sampai sekarang adalah sebagai berikut :

No NAMA PERIODE
1. Tumenggung SETJONEGORO 1825 – 1832
2. Tumenggung R. MANGOENKOESOEMO 1832 – 1857
3. Tumenggung R. KERTONEGORO 1857 – 1863
4. Tumenggung TJOKROHADISOERDJO 1863 – 1869
5. Tumengung SOERJOHADIKOESOEMO 1869 – 1898
6. R. Tumenggung SOERJOHADINEGORO 1998 – 1919
7. Adipati R.A. SOSROHADIPRODJO 1920 – 1944
8. Bupati R. SINGGIH HADIPOERA 1944 – 1946
9. Bupati R. SOEMINDRO 1946 – 1950
10. Bupati R. KADRI 1950 – 1954
11. Bupati R. OEMAR SOERJOKOESOEMO 1955 – .
12. Bupati R. SANGIDI HADISOETIRTO 1955 – 1957
13. Kepala Daerah RAPINGOEN WIMBOHADI SOEDJONO 1957 – 1959
14. Bupati R. WIBOWO HELLY 1960 – 1967
15. Bupati Kepala Daerah Drs. DARODJAT A.N.S. 1967 – 1974
16. Pj. Bupati Kepala Daerah R. MARDJABAN 1974 – 1975
17. Bupati Kepala Daerah Drs. SOEKANTO 1975 – 1985
18. Bupati Kepala Daerah Drs. POEDJIHARDJO 1985 – 1990
19. Bupati Kepala Daerah Drs. H. SOEMADI 1990 – 1995
20. Bupati Kepala Daerah Drs. H. MARGONO 1995 – 2000
21. Bupati Drs. TRIMAWAN NUGROHADI 2000 - 2005
22. Bupati Drs. H. ABDUL KHOLIQ ARIF 2005 - sekarang

Ternyata, semangat perjuangan pemimpin ini secara normatif dapat dijadikan idola, inspirasi dan kebanggaan daerah, sehingga akan bermakna dan berguna bagi pembangunan Wonosobo sekarang dan di masa mendatang.

0 komentar:

Posting Komentar